Ada banyak orang percaya berkata, bahwa kita perlu memiliki keseimbangan di dalam menjalani hidup kita, yaitu antara ibadah, keluarga, pekerjaan dan pelayanan. Ini adalah item pembagian yang banyak dipakai orang, kalau kalian memiliki item pembagian yang berbeda dengan di atas, hal itu bisa dan boleh saja. Nah, kembali ke topik pembahasan kita, yaitu tentang perlunya untuk kita boleh memiliki keseimbangan di dalam menjalani berbagai item atau aspek hidup kita. Apapun itu.
Masalahnya, ada banyak dari kita yang bingung bagaimana cara menakar keseimbangan tersebut, karena seringkali apa yang kita anggap telah cukup seimbang, ternyata bagi orang lain -khususnya pasangan kita, apa yang kita lakukan itu masih kurang seimbang, atau bahkan tidak seimbang sama sekali. Bingung kan? Tak hanya itu, ternyata perbedaan pemahaman soal takaran keseimbangan ini, telah menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik di dalam berbagai area hidup kita -terutama dengan pasangan kita, dan seringkali tidak terselesaikan.
Bro & Sis, keseimbangan di dalam menjalani berbagai area dari hidup kita adalah sebuah keharusan, tetapi besaran dari takaran tiap-tiap area kehidupan kita sangat bergantung pada keunikan masing-masing keluarga. Suami isteri perlu mendiskusikan dan meminta pimpinan Roh Kudus, agar mereka boleh menetapkan prioritas dan takaran yang tepat, sehingga mendatangkan kebaikan bagi hidup mereka sekeluarga. Perlu digarisbawahi di sini, bahwa kita perlu terus mendoakan dan meminta pimpinan Roh Kudus, agar TUHAN boleh terus mengkoreksi sisi-sisi area hidup kita yang masih belum berjalan dengan seimbang, supaya hidup kita boleh semakin maksimal di dalam Dia.
Namun, kita tidak dapat berpatokan mati dengan takaran keseimbangan yang telah disepakati, karena tidak tertutup kemungkinan bahwa sesekali (bukan setiap kali tentunya) kita terpaksa harus melanggar apa yang telah kita putuskan bersama. Hal ini bisa saja terjadi, karena ada waktu-waktu di mana TUHAN mengintervensi hidup kita, untuk kita boleh melakukan kehendak-Nya melalui hidup kita.
Saya akan memberikan contoh dari apa yang telah saya jalani dan alami selama ini. Saya telah memiliki komitmen, bahwa hari Sabtu adalah waktu saya untuk menemani steri saya berbelanja untuk kebutuhan dapur, lalu dilanjutkan acara kuliner keluarga, dan ditutup dengan acara DATE pada sore hari. Itulah keseharian saya setiap hari Sabtu. Nah, pada saat ada pengumuman bahwa dibutuhkan fasilitator untuk JPCC Men's Camp 2019 -yang kebetulan jatuh pada hari Jum'at dan Sabtu, saya pun ngobrol dengan isteri saya, dan ternyata ia setuju untuk saya mengikuti acara ini. Lalu, misalnya saja, kalau ternyata isteri saya tidak setuju, bagaimana? Jawaban saya singkat saja, ya saya tidak ikut. Ini tidak ada kaitan dengan rohani dan tidak rohani, tetapi dengan komitmen dan kesepakatan bersama.
Nah, yang perlu kita sadari di sini, bahwa dengan bergantinya musim kehidupan yang kita jalani, maka mau tidak mau kita dan pasangan hidup kita harus menata ulang prioritas dan takaran dari tiap-tiap area kehidupan kita, agar keseimbangan boleh tetap terjadi di dalam berbagai aspek hidup yang kita jalani pada musim yang baru. Itulah yang saya dan isteri saya alami dan lakukan. Kami telah menikah selama 17 tahun dan tanpa anak, saat keluarga besar memutuskan bahwa kedua keponakan isteri saya menjadi bagian dari hidup kami, karena kedua orangtua mereka telah meninggal. Perubahan musim yang mengejutkan. Yup, dari hanya hidup berdua, kini kami hidup berempat. Karena itu, mau tidak mau kami harus menata ulang prioritas dan takaran dari berbagai area di dalam hidup kami berdua, agar keseimbangan boleh tetap terjadi di tengah-tengah hidup nikah dan keluarga baru kami.
Bro & Sis, semoga coretan saya boleh memberikan bahan pemikiran buat para suami isteri, bagaimana kalian boleh memiliki kehidupan yang seimbang. GBU.
* DATE = sebutan untuk komunitas sel dimana kami berjemaat
* DATE = sebutan untuk komunitas sel dimana kami berjemaat